Urgensi Kepemimpinan
Oleh: Nila Widhianti*
Sebentar
lagi UNY akan menyelenggarakan Pemilwa. Pemilwa adalah sarana untuk menentukan
dan merancang bagaimana kelanjutan fase kepemimpinan kampus. Disini saya akan
sedikit berbagi tentang pentingnya pemimpin dipandang dari agama yang saya anut
(islam-red).
Islam adalah agama yang sempurna, di antara kesempurnaan
Islam ialah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik yang berhubungan
dengan Allah Swt (Hablum minallah), maupun hubungan dengan manusia
(Hablumminannas) termasuk di antaranya masalah kepemimpinan, Allah SWT menegaskan dalam surat Ali Imran ayat:
59, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan
ulil amri di antara kamu”. Menurut ahli tafsir, ulil amri adalah
para pemimpin dan para ulama. Apabila Allah mengatakan orang beriman harus taat
kepada ulil amri dari kalian artinya bahwa ulil amri itu
ada, bukan tidak ada. Rasulullah bersabda : idza khoroja tsalaatsatu
anfaar, fal yuaammiruu ahadahu. Apabila ada tiga orang pergi dalam suatu
perjalanan, maka mereka harus mengangkat salah satunya, sebagai pemimpin.
Betapa
urgensinya suatu kepemimpinan, ketika Rasulullah SAW wafat, para sahabat tidak
memakamkan Rasulullah SAW sebelum ada pemimpin yang menggantikan beliau ,
padahal mengubur mayat hukumnya wajib. Tetapi karena belum ada pemimpin yang
menggantikan Rasulullah, maka para sahabat belum memakamkannya. Baru setelah
melalui musyawarah tiga hari lamanya terpilihlah Sayyidina Abu Bakar
Ash-shiddiq RA, baru Rasulullah dimakamkan oleh para sahabat yakni pada hari
Rabu.
MUI
pada tanggal 26 Januari 2009 yang lalu mengeluarkan 17 fatwa di Padang Panjang
Sumatera Barat, melalui pertemuan ulama komisi fatwa se-Indonesia. MUI
mengeluarkan 17 fatwa dan satu rekomendasi untuk Palestina. Salah satu fatwa
berkaitan dengan masalah Pemilu. Mengapa keluar
fatwa? Pertama, karena ada orang yang
bertanya (mustafti). “Apa hukumnya orang yang tidak memilih dalam
pemilihan umum, atau yang lazim disebut Golput?”. Kedua, karena
urgensi tentang mengangkat kepemimpinan. Rasulullah mengatakan: “Taatlah dan
patuhlah, meskipun yang memimpin kamu adalah seorang budak dari Habasyah yang
rambutnya kriting (kribo) seperti kismis”. Ketiga, karena pemilu adalah
perbuatan manusia yang ada hukumnya dalam Islam. Tidak ada perbuatan manusia
kecuali pasti ada hukumnya dalam Islam, apakah wajib ataukah sunnah, apakah
haram, makruh atau mubah. Jadi tidak ada perbuatan manusia yang lepas dari
hukum Islam. Memilih atau tidak memilih, menjadi calon pemimpin atau
tidak, itu perbuatan manusia yang mesti ada hukumnya dalam agama Islam.
Keempat, adalah MUI mengamati, bahwa semakin hari ada gejala orang yang
tidak mau ikut pemilu semakin banyak, gejala golput pun semakin hari semakin
bertambah. Golput itu ada tiga macam; pertama golput karena bingung
melihat kontestan pemilu, tetapi kelompok ini ketika diberi penjelasan akan
kembali ke jalan yang benar. Kedua, adalah karena kecewa. Inilah
adalah barisan sakit hati, jumlahnya sedikit, tetapi walaupun telah diberi tahu
dan diterangkan, mereka tetap ngotot menolak pemilu. Ketiga adalah
karena alasan ideologis. (Source: Prof DR.K.H. Musthafa Ya’kub, MA)
Endingnya,
MUI kemudian mengeluarkan fatwa : “Umat Islam wajib memilih calon pemimpin dan
calon wakil rakyat yang bertakwa, yang memiliki sifat
kejujuran (shiddiq) dapat dipercaya (amaanah),
aspiratif (tabliigh) dan memiliki kemampuan
manajerial (fathoonah). Umat Islam juga wajib memilih pemimpin dan
wakil-wakil rakyat yang memperjuangkan kepentingan Islam.
Direfleksikan dengan hajat besar pemilwa kali ini, tidak ada alasan bagi
kita mahasiswa untuk tidak memilih pemimpin. Banyak pilihan yang bisa kita
ambil, tapi pastinya Golput bukanlah solusi bijak. Ketika ada ketidaksreg-an
dengan pemimpin, maka perlu adanya diskusi berkaitan hajat apa yang diinginkan.
Harus ada komunikasi. Jika bukan kita yang memilih pemimpin, lalu siapa yang
akan memilihkan pemimpin kita.
Perjalanan
waktu menyebabkan manusia tidak dapat mengubah arah waktu ke belakang atau
diam. Masa terus bergerak ke depan, dan apapun yang berada di hadapannya
manusia tidak bisa menghindar. Ia tidak mampu mengelak dari tanggung jawab yang
bertambah terus semakin hari. Belum termasuk waktu-waktu ‘istimewa’ yang akan
kita jalani seperti sakaratul maut, alam barzakh, padang mahsyar, hingga menghadap
Allah SWT. Perjalanan yang senantiasa diiringi nilai tanggung jawab yang besar
ini akan menyentuh puncak penderitaan manakala tidak ada seorangpun yang mau
menjadi penolongnya. Penolong di sini adalah seorang pemimpin.
*Penulis adalah Direktur Laboratorium
Jurnalistik (Lj) Haska JMF 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar