Selasa, 13 Desember 2011

Urgensi Kepemimpinan


Urgensi Kepemimpinan
Oleh:  Nila Widhianti*

Sebentar lagi UNY akan menyelenggarakan Pemilwa. Pemilwa adalah sarana untuk menentukan dan merancang bagaimana kelanjutan fase kepemimpinan kampus. Disini saya akan sedikit berbagi tentang pentingnya pemimpin dipandang dari agama yang saya anut (islam-red).
Islam adalah agama yang sempurna, di antara kesempurnaan Islam ialah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah Swt (Hablum minallah), maupun hubungan dengan manusia (Hablumminannas) termasuk di antaranya masalah kepemimpinan, Allah SWT menegaskan dalam surat Ali Imran ayat: 59, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu”. Menurut ahli tafsir, ulil amri adalah para pemimpin dan para ulama. Apabila Allah mengatakan orang beriman harus taat kepada ulil amri dari kalian artinya bahwa ulil amri itu ada, bukan tidak ada. Rasulullah bersabda : idza khoroja tsalaatsatu anfaar, fal yua­ammiruu ahadahu. Apabila ada tiga orang pergi dalam suatu perjalanan, maka mereka harus mengangkat salah satunya, sebagai pemimpin.
Betapa urgensinya suatu kepemimpinan, ketika Rasulullah SAW wafat, para sahabat tidak memakamkan Rasulullah SAW sebelum ada pemimpin yang menggantikan beliau , padahal mengubur mayat hukumnya wajib. Tetapi karena belum ada pemimpin yang menggantikan Rasulullah, maka para sahabat belum memakamkannya. Baru setelah melalui musyawarah tiga hari lamanya terpilihlah Sayyidina Abu Bakar Ash-shiddiq RA, baru Rasulullah dimakamkan oleh para sahabat yakni pada hari Rabu.
 MUI pada tanggal 26 Januari 2009 yang lalu mengeluarkan 17 fatwa di Padang Panjang Sumatera Barat, melalui pertemuan ulama komisi fatwa se-Indonesia. MUI mengeluarkan 17 fatwa dan satu rekomendasi untuk Palestina. Salah satu fatwa berkaitan dengan masalah Pemilu. Mengapa keluar fatwa? Pertama, karena ada orang yang bertanya (mustafti). “Apa hukumnya orang yang tidak memilih dalam pemilihan umum, atau yang lazim disebut Golput?”. Kedua, karena urgensi tentang mengangkat kepemimpinan. Rasulullah mengatakan: “Taatlah dan patuhlah, meskipun yang memimpin kamu adalah seorang budak dari Habasyah yang rambutnya kriting (kribo) seperti kismis”. Ketiga, karena pemilu adalah perbuatan manusia yang ada hukumnya dalam Islam. Tidak ada perbuatan manusia kecuali pasti ada hukumnya dalam Islam, apakah wajib ataukah sunnah, apakah haram, makruh atau mubah. Jadi tidak ada perbuatan manusia yang lepas dari hukum Islam. Memilih atau tidak memilih, menjadi  calon pemimpin atau tidak, itu perbuatan manusia yang mesti ada hukumnya dalam agama Islam. Keempat, adalah MUI mengamati, bahwa semakin hari ada gejala orang yang tidak mau ikut pemilu semakin banyak, gejala golput pun semakin hari semakin bertambah. Golput itu ada tiga macam; pertama golput karena bingung melihat kontestan pemilu, tetapi kelompok ini ketika diberi penjelasan akan kembali ke jalan yang benar. Kedua, adalah karena kecewa. Inilah adalah barisan sakit hati, jumlahnya sedikit, tetapi walaupun telah diberi tahu dan diterangkan, mereka tetap ngotot menolak pemilu. Ketiga adalah karena alasan ideologis.  (Source:  Prof DR.K.H. Musthafa Ya’kub, MA)
Endingnya, MUI kemudian mengeluarkan fatwa : “Umat Islam wajib memilih calon pemimpin dan calon wakil rakyat yang bertakwa, yang memiliki sifat kejujuran (shiddiq) dapat dipercaya (amaanah), aspiratif (tabliigh) dan memiliki kemampuan manajerial (fathoonah). Umat Islam juga wajib memilih pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang memperjuangkan kepentingan Islam.
                Direfleksikan dengan hajat besar  pemilwa kali ini, tidak ada alasan bagi kita mahasiswa untuk tidak memilih pemimpin. Banyak pilihan yang bisa kita ambil, tapi pastinya Golput bukanlah solusi bijak. Ketika ada ketidaksreg-an dengan pemimpin, maka perlu adanya diskusi berkaitan hajat apa yang diinginkan. Harus ada komunikasi. Jika bukan kita yang memilih pemimpin, lalu siapa yang akan memilihkan pemimpin kita.
                Perjalanan waktu menyebabkan manusia tidak dapat mengubah arah waktu ke belakang atau diam. Masa terus bergerak ke depan, dan apapun yang berada di hadapannya manusia tidak bisa menghindar. Ia tidak mampu mengelak dari tanggung jawab yang bertambah terus semakin hari. Belum termasuk waktu-waktu ‘istimewa’ yang akan kita jalani seperti sakaratul maut, alam barzakh, padang mahsyar, hingga menghadap Allah SWT. Perjalanan yang senantiasa diiringi nilai tanggung jawab yang besar ini akan menyentuh puncak penderitaan manakala tidak ada seorangpun yang mau menjadi penolongnya. Penolong di sini adalah seorang pemimpin.
*Penulis adalah Direktur Laboratorium Jurnalistik (Lj) Haska JMF 2011